Kita suka lupa,dulu gas alam kita dijual ke luar, karena di
dalam negeri tak ada yang beli.
Dalam artikel sindikasi
berjudul The Global Impact of US Shale (8 Januari 2014), Yergin
menulis bahwa pengembangan shale gas di Amerika Serikat secara signifikan telah
membawa berbagai dampak secara sosial, politik dan ekonomi bukan saja di
dalam negeri tetapi secara global. Pengembangan shale gas dan tight oil
di AS telah mengubah pasar energi global. AS kini sama sekali tidak mengimpor
LNG lagi.
Bahkan, AS telah menjadi pengekspor
utama dan menjadi pesaing eksportir gas tradisional seperti Rusia
dan Norwegia. Kemudian, shale gas telah mendongkrak daya saing industri
di AS, dibanding China dan Eropa, karena harga energinya lebih murah.
Negara-negara Eropa dan China patut cemas karena barang-barang produk AS dapat
menjadi lebih murah sehingga meningkat daya saingnya.
Dampak ikutannya adalah lapangan
kerja baru tercipta karena industri Amerika bergairah kembali, berkat shale gas
tercipta sekitar 2 juta lapangan kerja baru.
Dalam World Energy Outlook 2013, yang dirilis pada November 2013, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan pada tahun 2035 AS akan mengalami peningkatan pangsa globalnya dalam ekspor produk industri yang menguras energi (energy intensive industry) karena harga gas yang murah itu. Sebaliknya. pangsa pasar global Uni Eropa dan Jepang akan tergerogoti hingga sepertiganya. Proyeksi ini memperlihatkan adanya kaitan antara harga energi yang murah dan prospek industri ke depan.
Dalam World Energy Outlook 2013, yang dirilis pada November 2013, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan pada tahun 2035 AS akan mengalami peningkatan pangsa globalnya dalam ekspor produk industri yang menguras energi (energy intensive industry) karena harga gas yang murah itu. Sebaliknya. pangsa pasar global Uni Eropa dan Jepang akan tergerogoti hingga sepertiganya. Proyeksi ini memperlihatkan adanya kaitan antara harga energi yang murah dan prospek industri ke depan.
Dan, yang juga penting, pengembangan
shale gas secara perlahan telah mengubah peta politik global. Terutama,
terkait kepentingan AS mengamankan pasokan energinya dari Timur Tengah.
Misalnya, menurut Yergin, Iran kini lebih melunak dalam perundingan mengenai
nuklir, karena ternyata penurunan produksi minyak Iran akibat sanksi yang
dijatuhkan kepadanya tidak berdampak kepada harga minyak. Namun IEA
memperkirakan shale gas Amerika tidak akan segera menggantikan peran Timur
Tengah sebagai produsen minyak dunia.
Jadi ada benarnya, bila seorang pejabat perminyakan Indonesia pekan lalu dikutip mengatakan pengembangan shale gas di Amerika Serikat akan menjadi ancaman baru bagi industri gas di Indonesia. Melimpahnya pasokan membuat harga LNG yang diproduksi dari shale gas di Amerika menjadi sangat murah, dan bisa mengancam ekspor gas Indonesia.
Jadi ada benarnya, bila seorang pejabat perminyakan Indonesia pekan lalu dikutip mengatakan pengembangan shale gas di Amerika Serikat akan menjadi ancaman baru bagi industri gas di Indonesia. Melimpahnya pasokan membuat harga LNG yang diproduksi dari shale gas di Amerika menjadi sangat murah, dan bisa mengancam ekspor gas Indonesia.
Saat ini Indonesia mengekspor 47,9%
produksi gas alamnya ke (terutama) negara-negara di Asia Timur (Jepang,
Korea Selatan dan China) dengan harga rata-rata mencapai US$ 15 per mmbtu.
Sementara harga gas alam yang diekspor oleh AS bisa lebih rendah dari US$ 5 per
mmbtu. Pembeli setia gas kita berpotensi untuk belanja ke sumber
pasokan yang lebih murah.
Membangun Infrastruktur
Pada September 2013 lalu, lembaga
kajian di bidang energi, Wood Mackenzie menyatakan, Indonesia akan
menjadi faktor yang mempengaruhi pasar energi di kawasan. Indonesia akan
menjadi negara yang signifikan mempengaruhi defisit energi di Asia Pasifik,
terutama dari importasi BBM yang semakin besar.
Kita sudah merasakan sendiri defisit
neraca perdagangan akibat impor BBM telah menggerus cadangan devisa kita
dan menjadi faktor yang membuat nilai tukar rupiah merosot. Impor minyak kita
lebih dari 400 ribu barel minyak per harinya. Maka pilihan kebijakan yang
tepat dan cepat di sektor energi ini sangat dibutuhkan. Sehingga, kata
kuncinya adalah tata kelola yang tepat.
Banyak pakar mengatakan sudah
saatnya mengakhiri ekspor LNG kita ke negeri lain, dan mengalihkan pasokan ke
dalam negeri. Pendapat itu benar adanya. Namun, kita suka lupa sejarah
bahwa gas alam kita dijual ke negara lain karena pada masa lalu harga minyak
lebih murah daripada gas, di dalam negeri tidak ada yang mau beli. Tak
heran, infrastruktur gas domestik pun tidak dibangun.
Jadi, kepada pemerintah baru hasil
pemilihan umum 2014, maka tugas utama kalian nanti adalah segera membangun
infrastruktur gas yang masif (menurut pengamat ekonomi energi Darmawan
Prasodjo menelan anggaran Rp 300 – 400 triliun) supaya tidak terjadi
krisis energi yang parah.
Kemudian, berikan insentif yang
paling menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak yang akan mengadakan kegiatan
eksplorasi di laut-laut dalam kita, agar cadangan migas meningkat. Selanjutnya
dekati Amerika Serikat supaya bisa membeli gasnya yang berharga murah itu. Itu
semua tak lain karena diperkirakan kebutuhan gas akan mencapai 20 persen dari bauran
energi kita pada 2025.
Pentingnya Riset
Patut digarisbawahi bahwa “revolusi shale gas” bukan sesuatu yang ujug-ujug. Shale gas disebut sebagai unconventional gas karena cara mendapatkannya berbeda dengan metode pengeboran yang konvensional dalam mencari dan memproduksi migas. Metode fracking (hydrolic fracturing) untuk mencari shale gas telah ada sejak 1947, dan baru dikembangkan di Texas pada awal 1980an, dan terus disempurnakan sampai awal 2000an. Dan, baru benar-benar memberi dampak pada produksi gas dan minyak di Amerika Serikat pada 2008.
Namun, sebenarnya bukan hanya AS
yang membuat “revolusi” energi. Brasil dengan revolusi etanolnya, sukses
mendapatkan energi alternatif, baik untuk keperluan industri maupun
transportasi. Di saat sama, Petrobras juga tidak henti mengadakan
kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan-cadangan minyak dan gas yang
baru. Negara itu kini salah satu eksportir minyak utama di dunia.
Langkah Pemerintah yang mewajibkan
mencampur biodiesel hingga 10 persen ke bahan bakar diesel merupakan awal yang
sangat baik. Ketersediaan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku
biodiesel sangat melimpah. Jelas hal ini akan mengurangi importasi solar
secara signifikan. Target untuk meningkatkan komponen biodiesel ke solar hingga
20 persen patut didukung.
Sejalan dengan itu, sepatutnya
Pemerintah, bekerja sama dengan pihak industri perkebunan, menggalakkan
penelitian untuk menghasilkan berbagai produk turunan dari kelapa sawit yang
lebih hebat lagi sebagai sumber energi.
Sebagai negara yang pernah menjadi
pengekspor minyak dan gas yang kini menjadi pengimpor, tidak ada salahnya kita
belajar dari kisah sukses negara-negara yang dulu pengimpor namun kini menjadi
pengekspor migas.
*Penulis anggota Dewan Redaksi Sinar
Harapan
Cr: http://shnews.co