Laman

Sabtu, 28 Juni 2014

Memetik Pelajaran dari Revolusi Shale Gas



Kita suka lupa,dulu gas alam kita dijual ke luar, karena di dalam negeri tak ada yang beli.

Dalam artikel sindikasi berjudul  The Global Impact of US Shale (8 Januari 2014), Yergin menulis bahwa pengembangan shale gas di Amerika Serikat secara signifikan telah membawa berbagai dampak  secara sosial, politik dan ekonomi bukan saja di dalam negeri tetapi secara global.  Pengembangan shale gas dan tight oil di AS telah mengubah pasar energi global. AS kini sama sekali tidak mengimpor LNG lagi.
 
Bahkan, AS telah menjadi pengekspor utama dan menjadi pesaing  eksportir  gas tradisional seperti Rusia dan Norwegia.  Kemudian, shale gas telah mendongkrak daya saing industri di AS, dibanding China dan Eropa, karena harga energinya lebih murah.  Negara-negara Eropa dan China patut cemas karena barang-barang produk AS dapat menjadi lebih murah sehingga meningkat daya saingnya.
Dampak ikutannya adalah lapangan kerja baru tercipta karena industri Amerika bergairah kembali, berkat shale gas tercipta sekitar 2 juta lapangan kerja baru.

Dalam World Energy Outlook 2013, yang dirilis pada November 2013, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memproyeksikan pada tahun 2035 AS akan mengalami peningkatan pangsa globalnya dalam ekspor produk industri yang menguras  energi  (energy intensive industry) karena harga gas yang murah itu. Sebaliknya. pangsa pasar global  Uni Eropa dan Jepang akan tergerogoti hingga sepertiganya.  Proyeksi  ini memperlihatkan adanya kaitan antara harga energi yang murah dan prospek  industri ke depan.
Dan, yang juga penting, pengembangan shale gas secara perlahan telah mengubah peta politik global. Terutama,  terkait kepentingan AS mengamankan pasokan energinya dari Timur Tengah. Misalnya, menurut Yergin, Iran kini lebih melunak dalam perundingan mengenai nuklir, karena  ternyata penurunan produksi minyak Iran akibat sanksi yang dijatuhkan kepadanya tidak berdampak kepada harga minyak. Namun IEA memperkirakan shale gas Amerika tidak akan segera menggantikan peran Timur Tengah sebagai produsen minyak dunia.

Jadi ada benarnya, bila seorang pejabat perminyakan Indonesia pekan lalu dikutip mengatakan pengembangan shale gas di Amerika Serikat akan menjadi ancaman baru bagi industri gas di Indonesia. Melimpahnya pasokan membuat harga LNG yang diproduksi dari shale gas di Amerika menjadi sangat murah, dan bisa mengancam ekspor gas Indonesia.
Saat ini Indonesia mengekspor 47,9% produksi  gas alamnya ke (terutama) negara-negara di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan dan China) dengan harga rata-rata mencapai US$ 15 per mmbtu. Sementara harga gas alam yang diekspor oleh AS bisa lebih rendah dari US$ 5 per mmbtu. Pembeli setia  gas kita berpotensi untuk belanja  ke sumber pasokan yang lebih murah.
Membangun Infrastruktur
Pada September 2013 lalu, lembaga kajian di bidang energi, Wood Mackenzie menyatakan,  Indonesia akan menjadi faktor yang mempengaruhi pasar energi di kawasan. Indonesia akan menjadi negara yang signifikan mempengaruhi defisit energi di Asia Pasifik, terutama dari importasi BBM yang semakin besar.
Kita sudah merasakan sendiri defisit neraca perdagangan akibat impor BBM telah menggerus  cadangan devisa kita dan menjadi faktor yang membuat nilai tukar rupiah merosot. Impor minyak kita lebih dari 400 ribu barel minyak per harinya.  Maka pilihan kebijakan yang tepat dan cepat di sektor energi ini sangat dibutuhkan.  Sehingga, kata kuncinya adalah tata kelola yang tepat.
Banyak pakar mengatakan sudah saatnya mengakhiri ekspor LNG kita ke negeri lain, dan mengalihkan pasokan ke dalam negeri.  Pendapat itu benar adanya. Namun, kita suka lupa sejarah bahwa gas alam kita dijual ke negara lain karena pada masa lalu harga minyak lebih murah daripada gas, di dalam negeri tidak ada yang mau beli. Tak heran,  infrastruktur gas domestik pun tidak dibangun.
Jadi, kepada pemerintah baru hasil pemilihan umum 2014, maka tugas utama kalian nanti adalah segera membangun infrastruktur gas yang masif (menurut pengamat ekonomi energi Darmawan Prasodjo  menelan anggaran Rp 300 – 400 triliun) supaya tidak terjadi krisis energi yang parah.
Kemudian, berikan insentif yang paling menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak yang akan mengadakan kegiatan eksplorasi di laut-laut dalam kita, agar cadangan migas meningkat. Selanjutnya dekati Amerika Serikat supaya bisa membeli gasnya yang berharga murah itu. Itu semua tak lain karena diperkirakan kebutuhan gas akan mencapai 20 persen dari bauran energi kita pada 2025.
Pentingnya Riset

Patut digarisbawahi bahwa “revolusi shale gas”   bukan sesuatu yang ujug-ujug.  Shale gas disebut sebagai unconventional gas karena cara mendapatkannya berbeda dengan metode pengeboran yang konvensional dalam mencari dan memproduksi migas. Metode fracking (hydrolic fracturing) untuk mencari shale gas telah ada sejak 1947, dan baru dikembangkan di Texas pada awal 1980an, dan terus disempurnakan sampai awal 2000an. Dan, baru benar-benar memberi  dampak pada produksi gas dan minyak di Amerika Serikat pada 2008.
Namun, sebenarnya bukan hanya AS yang membuat “revolusi” energi.  Brasil dengan revolusi etanolnya, sukses mendapatkan  energi alternatif, baik untuk keperluan industri maupun transportasi.   Di saat sama, Petrobras juga tidak henti mengadakan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan-cadangan minyak dan gas yang baru.  Negara itu kini salah satu eksportir minyak utama di dunia.
Langkah Pemerintah yang mewajibkan mencampur biodiesel hingga 10 persen ke bahan bakar diesel merupakan awal yang sangat baik. Ketersediaan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku biodiesel sangat melimpah.  Jelas hal ini akan mengurangi importasi solar secara signifikan. Target untuk meningkatkan komponen biodiesel ke solar hingga 20 persen patut didukung.
Sejalan dengan itu, sepatutnya Pemerintah, bekerja sama dengan pihak industri perkebunan, menggalakkan penelitian untuk menghasilkan berbagai produk turunan dari kelapa sawit yang lebih hebat lagi sebagai sumber energi.
Sebagai negara yang pernah menjadi pengekspor minyak dan gas yang kini menjadi pengimpor, tidak ada salahnya kita belajar dari kisah sukses negara-negara yang dulu pengimpor namun kini menjadi pengekspor migas.
*Penulis anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
Cr: http://shnews.co