Laman

Selasa, 15 April 2014

Hakikat Pergerakan Nasional

Hakikat Pergerakan Nasional  

 


a. Arti dan makna pergerakan nasional


 Ciri khas yang ada pada Ilmu Sejarah adalah sifat subyektivitas yang tercermin pada setiap penulisan sejarah. Tanpa mengurangi hakekat kebenaran yang ingin dicapai dalam suatu penulisan sejarah, ternyata unsur ini  tetap melekat. Seperti halnya dalam istilah pergerakan nasional yang selama ini kita temukan dalam tulisan sejarah sebenarnya juga menunjukan adanya subyektivitas tersebut, karena setiap bangsa dalam memandang suatu peristiwa sejarah tentunya memiliki kepentingan.

Subyektivitas ini termasuk di dalamnya terkait dengan kurun waktu dari masa pergerakan nasional serta keterlibatan berbagai macam unsur dan golongan. Berkaitan dengan istilah pergerakan nasional tidak banyak yang mengemukakan terminologi ini.
Seperti yang dikatakan oleh Koch bahwa kecuali dari buku De Nationalistiche Beweging in Nederlans Indie yang ditulis oleh Petrus Th. Blumberger, belumlah ada suatu penerbitan yang dalam bahasa Belanda yang memuat pandangan yang cukup tajam (DMG. Koch, 1951 : 6).
Dilihat dari munculnya istilah sejarah pergerakan nasional itu sebenarnya formulasi ini pada mulanya diintrodusir oleh P. Th. Blumberger seperti yang dikutip di atas. Masalah pergerakan nasional itu menjadi problem karena berkaitan dengan keterlibatan bangsa dalam arti secara keseluruhan masih merupakan peristiwa langka saat itu.
Di pihak lain perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajah Belanda sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum abad XX. Karena itu masih perlu dijelaskan kriteria apa yang harus dipakai untuk melihat suatu gerakan itu bersifat nasional. Haruskah gerakan itu dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia (Hindia Belanda) atau kualitas gerakan yang bagaimana yang dapat disebut sebagai gerakan nasional itu.
Jika dilihat dari kacamata sekarang tentu gerakan nasional itu adalah gerakan yang kita lakukan sebagai bangsa Indonesia yang serentak, terencana dan memiliki tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya sehingga memiliki suatu arah dan kepastian dalam keinginan yang dituju.
Akan tetapi ukuran ini tentu tidak dapat diterapkan pada awal dekade abad XX. Pergerakan nasional adalah pergerakan bangsa itu, walaupun yang bergerak itu sebagian rakyat atau sebagian kecil sekalipun asalkan apa yang menjadi tujuan itu dapat menentukan nasib bangsa itu secara keseluruhan, menuju tujuan yang tertentu yaitu kemerdekaan.
Dalam gerakan ini kesetiaan diletakkan pada bangsa itu sendiri. Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa yang terjajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara yang merdeka. Tujuan pergerakan nasional yang seutuhnya tidak mungkin akan terwujud sejauh kemerdekaan dalam bidang politik belum dapat dicapai.
Pergerakan nasional dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu momentum yang penting. Memang setiap momentum, dalam sejarah, memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya. Setiap momentum mengandung nilai-nilai tertentu, yang jika kita hubungkan dengan sejarah sebagai alat pendidikan tentu mengandung makna.
Periode pergerakan nasional perlu mendapatkan tempat yang penting dalam kerangka periodisasi sejarah Indonesia karena ada suatu ciri yang sangat berbeda pada momentum ini jika dibandingkan dengan babakan sejarah sebelumnya. Ciri yang dimiliki inilah menjadikan pergerakan nasional memiliki arti penting dalam sejarah Indonesia.
Pergerakan Indonesia meliputi berbagai gerakan atau aksi yang dilakukan dalam bentuk organisasi secara modern menuju ke arah yang lebih baik terutama dalam kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karena itu dalam perkembangannya gerakan yang terjadi tidak hanya bersifat radikal akan tetapi juga ada yang bersifat moderat.
Namun demikian bagi suatu organisasi taktik perjuangan dapat berbeda asalkan memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu koperasi ataupun non koperasi bukan suatu tujuan melainkan semata-mata sebuah taktik perjuangan. Di samping istilah pergerakan nasional kita juga mengenal istilah perjuangan nasional.
Akan tetapi kata perjuangan sebenarnya memiliki cakupan waktu yang lebih luas (lama) karena perjuangan bangsa itu sebenarnya sejak bangsa itu ada sampai mencapai tujuannya, sedang pergerakan nasional hanyalah meliputi kurun waktu 1908-1945.
Seperti yang dikatakan oleh Susanto Tirtoprodjo, bahwa perjuangan mempunyai arti yang luas, sehingga yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan kita seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Hasanudin dan sebagainya merupakan peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional Indonesia.
Di atas telah disinggung bahwa pergerakan nasional itu adalah gerakan yang memiliki tujuan yang pasti, dalam hal ini adalah gerakan tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri. Jika suatu gerakan memiliki tujuan yang pasti, seharusnyalah gerakan itu teratur dalam arti memiliki suatu perbedaan dengan gerakan yang pernah terjadi sebelumnya.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan memang dilakukan dengan berbagai macam cara. Sejak kedatangan bangsa asing ke Indonesia, bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan bahu-membahu. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia seperti dalam perang-perang lokal antara lain serangan Sultan Agung terhadap VOC, Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, Perang Makasar dan lain sebagainya.
Hanya saja apa yang mereka lakukan belum memperoleh hasil yang optimal, artinya belum mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Ketidakmampuan ini tidak harus ditafsirkan kalau para pejuang kita kalah. Belum berhasilnya menembus benteng penjajahan itu banyak sekali faktor yang mempengaruhi.
Dilihat dari strategi perjuangan, rupanya perang (perang fisik) banyak berbicara. Oleh karena itu kita perlu mengenang keberanian para pejuang Indonesia dalam menghadapi penjajahan itu. Mereka bersemboyan ''Merdeka atau Mati''. Hanya saja suatu hal yang kurang mendapat perhatian adalah koordinasi dalam perjuangan belum dilaksanakan, komunikasi belum terkoordinir.
Hal itu dapat kita lihat dalam Perang Diponegoro yang waktunya hampir bersamaan dengan Perang Paderi. Jika saja ada koordinasi antara kedua peristiwa itu, tentulah jalannya sejarah akan menjadi lain. Tetapi sayang komunikasi tidak ada/belum dapat terjalin sehingga penghentian perang antara Belanda dengan kaum Paderi di Sumatera Barat justru menguntungkan pihak Belanda sendiri karena kekuatannya dapat dipusatkan untuk menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Setelah pasukan Diponegoro dapat dilokalisir maka kekuatan selanjutnya dipergunakan untuk menghadapi pasukan Paderi di Sumatera Barat. Kenyataan ini mengingatkan kita pada politik Belanda yang memecah belah persatuan. Persatuan merupakan unsur vital dalam rangka menghadapi penjajahan semacam Belanda.
Jika masalah ini ternyata sarana untuk mengkomunikasikan taktik dan strategi dalam menghadapi Belanda belum terjadi pada periode sejarah Indonesia sebelum abad XX. A.K. Pringgodigdo dalam bukunya ''Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia'', pada halaman 1 menyebut dengan istilah organisasi ''modern''.
Contoh organisasi yang pertama memiliki ciri-ciri modern ini adalah Budi Utomo, yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada tahun 1908. Berdirinya organisasi yang mempunyai ciri dan watak berbeda dengan apa yang ada dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum abad XX oleh bangsa Indonesia diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.


Peringatan lahirnya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316, tertanggal 16 Desember 1959. Jadi peringatan Kebangkitan Nasional bertepatan dengan peringatan lahirnya Budi Utomo 20 Mei 1908, tentu ada hal yang spesifik.
Yang kita maksud spesifik menurut A.K. Pringgodigdo adalah sebagai berikut :
1. Memiliki pengurus yang pasti;
2. Memiliki anggota yang terdaftar;
3. Memiliki tujuan;
4. Memiliki rancangan pekerjaan yang dalam hal ini program kerja;
5. Lain-lain didasarkan atas peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa disamping syarat-syarat yang dikemukakan oleh A.K. Pringgodigdo di atas, tentu tekanan kita adalah bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah untuk kepentingan nasional (kemerdekaan bangsa). Pembahasan tentang makna pergerakan nasional, kita harus mengetahui terlebih dahulu bahwa makna itu apa.
Sidi Gazalba menyebutkan : Makna adalah Azas yang menentukan saling berhubungan antara bagian-bagian dan antara bagian-bagian dengan keseluruhan. Jika kita telah pembahasan ini ternyata makna itu dikaitkan dengan suatu pendekatan sistem. Berbicara tentang makna pergerakan nasional, tentu tidak terlepas dari makna sejarah pada umumnya.
Hal ini karena pergerakan nasional merupakan salah satu bagian dari sejarah Indonesia. Pentingnya sejarah bagi suatu bangsa, mengingat sejarah memiliki arti penting, karena ada sesuatu yang dapat diberikan oleh sejarah pada kita. Orang sering mengatakan, kita hendaknya belajar dari sejarah.
Sekarang, kalau kita berbicara tentang makna pergerakan nasional, tentu tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan pergerakan nasional dalam sejarah perjuangan nasional. Hal ini karena perjuangan nasional memiliki makna yang luas. Sehubungan dengan hal itu, kita melihat sampai sejauh mana pergerakan nasional itu menimbulkan dampak terhadap perjuangan selanjutnya.
Jawaban akan masalah ini memberikan petunjuk pada kita bahwa gebrakan Budi Utomo sebagai pemula pergerakan nasional menimbulkan suatu kenyataan, dimana banyak partai politik berdiri mengikutinya, seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Partindo dan sebagainya, baik yang bersifat politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dari kenyataan tersebut di atas, jelaslah bahwa pergerakan nasional yang muncul awal abad XX memberikan warna baru dalam hubungannya dengan taktik dan strategi perjuangan bangsa Indonesia.
b. Perkembangan pendidikan di Indonesia


Perkembangan sistem pendidikan pada masa Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dengan politik etis. Ini berarti bahwa terjadinya perubahan pada negeri jajahannya (Indonesia) banyak dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi di negeri Belanda sendiri.Tekanan datang dari Partai Sosial Demokrat yang di dalamnya ada Van Deventer yang juga seorang liberal yang tangguh dengan mencetuskan hutang budi.
Apa yang diinginkan Van Deventer ternyata menjadi kenyataan ketika dalam bulan September 1902 A.W.F. Indenburg mulai menduduki pos Menteri Urusan Jajahan. Dalam salah satu pidatonya Indenburg mengatakan :
''Selama dua puluh lima tahun terakhir ini penduduk (pulau Jawa) telah bertambah empat puluh lima persen, sedangkan tanah sawah hanya bertambah dua puluh tiga persen (produktivitas dua puluh delapan persen). Jadi penghasilan rata-rata perorangpun menurun. Jumlah petani yang tidak memiliki tanah bertambah. Jumlah penduduk yang mencari lapangan usaha lain bertambah, tetapi pendapatan rata-rata mereka menurun. Semua kenyataan ini membenarkan kesimpulan bahwa Jawa berada dalam keadaan transisi. Dari suatu masyarakat yang benar-benar agrasi ke suatu masyarakat dimana industri maju ke depan berdampingan dengan pertanian. Dan apabila seseorang memandang kenyataan-kenyataan ini sebagai sebab umum, maka sudah jelas arah yang dituju adalah untuk suatu perbaikan''.


Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda ternyata membawa kesegaran yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mengakibatkan rakyat Indonesia yang amat mendalam.
Ternyata politik yang diterapkan tersebut menghasilkan batig slot dan politik drainage. Setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak, maka Belanda mulai menghapus pelaksanaan tanam paksa secara berangsur-angsur. Berkat dorongan kaum liberal, serta kaum humanis di Indonesia mulai dilaksanakan sistem usaha swasta dan penanaman bebas.
Sistem ini kenyataannya tidak dapat mengentas rakyat dari kemiskinan. Banyak kritikan dilakukan oleh tokoh di negeri Belanda seperti de Wall, Fransen van den Pute dan juga oleh Brosstchooft (seorang jurnalis dan redaktur majalah De Locomotif, sebuah harian yang ada di Semarang) yang mengatakan bahwa selama satu abad lebih kekayaan dan keuntungan yang mestinya menjadi milik rakyat Indonesia telah diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1905 adalah saat di mana akan dilaksanakan pemilihan umum, dan ternyata ven Deventer terpilih sebagai anggota Parlemen dari kelompok Demokrat Radikal. Namun sebelum itu sebenarnya tokoh ini telah banyak memberikan kritikan terhadap pemerintah penjajahan Belanda.
Hal ini tercermin dalam tulisan yang dimuat dalam majalah de Gids dengan judul Een Ereschuld yang berarti hutang budi atau hutang kehormatan. Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan bahwa kekosongan kas negeri Belanda sebagai akibat perang Diponegoro dan perang kemerdekaan Belgia telah dapat diisi kembali berkat pengorbanan orang-orang Indonesia.
Kemakmuran dan kemajuan negeri Belanda diperoleh dari kerja dan jasa orang koloni Indonesia. Karena itu Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Untuk itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui gagasannya yang dikenal dengan ''Tri Logi van Deventer'' yang di dalamnya terdiri dari emigrasi, irigasi, dan edukasi.
Politik yang diperjuangkan dalam rangka mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat serta efisiensi yang kemudian dikenal dengan politik etis. Kritik dan saran yang disampaikan van Deventer mendapat tanggapan positif dari pemerintah Belanda. Hal ini dapat dilihat dalam pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901.
Dalam pidatonya, Ratu mengemukakan gagasan pembaharuan politik yang diberi judul ''Etische Richting'' (Haluan Etika) yang lebih dikenal dengan politik etis. Dalam pidato tersebut Ratu Wilhelmina antara lain menyatakan adanya kewajiban bagi pemerintah Belanda untuk memperbaiki kesejahteraan dan kedudukan orang pribumi.
Hal ini tercermin dari usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menindaklanjuti pidato Ratu Wilhelmina seperti :
1. Pembentukan panitia kemunduran kesejahteraan untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu;
2. Menghidupkan kembali perusahaan pribumi;
3. Diadakan pinjaman tak berbunga 30 juta gulden dan pemberian berbagai hadiah 40 juta gulden;
4. Penyelidikan mengenai keadaan ekonomis yang tercantum dalam laporan van Deventer.
Sebagai akibat dari semua itu ternyata terdapat kemajuan serta suatu perubahan yang dapat dilihat dalam hal desentralisasi, perubahan-perubahan pemerintahan, perbaikan kesehatan rakyat, emigrasi, perbaikan pertanian dan peternakan, pembangunan irigasi dan lalu lintas.
Pertama-tama pemerintah Belanda mengusahakan desentralisasi, yang mendasarkan pada tiga prinsip, yaitu pengalihan pemerintah dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda, Batavia ke daerah lain, Bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Pada kenyataan peralihan pemerintahan dari negeri Belanda ke Indonesia sulit dilaksanakan, namun demikian usaha-usaha ke arah desentralisasi tetap dilaksanakan.
Pada tahun 1903 Staten General (Badan Legislatif Federal) menyetujui adanya Undang-Undang Desentralisasi. Mulai tahun 1905 dibentuk dewan-dewan kota, yang tugasnya antara lain membuat peraturan tentang pajak dan bangunan umum. Dari segi keanggotaan, dewan tersebut lebih banyak didominasi oleh orang-orang Eropa.
Untuk mendukung pelaksanaan politik etis, pemerintah Belanda mencanangkan Politik Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan hubungan harmonis antara Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi).
Dengan politik asosiasi dan semboyan unifikasi, akan terjadsi suatu proses pembelandaan terhadap rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata cara yang dilakukan Belanda ini tidak memperoleh sambutan dari rakyat Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa hasil.
Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan unggul, sehingga politik asosiasi justru menimbulkan hubungan yang paternalistik. Belanda berperan sebagai bapak dan Indonesia sebagai anak yang masih harus dibina. Oleh karena itu politik etis juga sering disebut sebagai Paternalistik Politik (pater/father = ayah).
Dalam bidang kesehatan, pemerintah telah melaksanakan program pemberantasan penyakit menular, seperti pes, cacar, kolera dan malaria, sehingga dapat menurunkan angka kematian (salah satu faktor yang paling dirasakan sebagai penderitaan adalah tingkat kesehatan masyarakat sangat rendah dan banyak terserang penyakit).
Hal ini tidak lepas dari peningkatan jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan sehingga kesempatan kerja di Jawa sangat terbatas mengakibatkan terjadinya pengangguran. Dalam rangka mengatasi hal ini dilaksanakan emigrasi. Perpindahan penduduk terutama dilakukan dari pulau Jawa ke luar Jawa, terutama Sumatera.
Program ini tidak banyak menolong keadaan rakyat, karena lebih banyak menjadi buruh yang hidupnya menderita. Ternyata apa yang dilakukan Belanda bukan menyejahterakan rakyat akan tetapi justru memindahkan kesengsaraan. Inilah secara kultural menjadi beban bagi rakyat Indonesia ketika akan dilaksanakan transmigrasi ke luar Jawa.
Dalam bidang pendidikan (edukasi), tujuan semula Belanda adalah untuk mendapat tenaga kerja atau pegawai murahan dan mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang dapat membaca dengan gaji yang murah. Untuk kepentingan tersebut, Belanda mendirikan sekolah-sekolahan untuk rakyat pribumi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan politik etis tidak terlepas dari kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Karena itu politik etis sering disebut sebagai politik sarung tangan sutra sebagai pengganti politik sarung tangan besi. Di atas dikatakan bahwa munculnya sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik etis.
Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan pendidikan mengingat salah satu dari Trilogi van Deventer secara eksplisit menyebutkan mengenai edukasi. Jika dilihat dari aspek sejarahnya, sebenarnya sistem pendidikan sudah ada sejak zaman VOC.
Pada tahun 1617 di Jakarta telah didirikan sekolah Betawi (Batavische School). Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Jakarta juga didirikan Seminarium Theologicum. Pada tahun 1743 juga berdiri Akademi Pelayaran (Academie der Marine).
Dengan adanya perbedaan perlakuan sebagai akibat dari sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat kolonial khususnya terhadap golongan Timur Asing, maka pada tahun 1737 didirikan sekolah khusus untuk orang Tionghoa.
Munculnya sistem pendidikan kolonial ketika itu, tidaklah berbanding lurus dengan kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini karena secara idiil sistem pendidikan lebih banyak pada upaya untuk seberapa jauh pendidikan yang dirancang itu telah memenuhi kebutuhan akan tenaga bagi Hindia Belanda.
Setelah dilaksanakannya Politik Etis sebagai salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda, banyak lembaga pendidikan mulai berdiri. Namun demikian ternyata perbedaan warna kulit (color line division), ternyata menjadi salah satu hambatan masuk sekolah. Sistem pendidikan ternyata juga dikembangkan disesuaikan dengan status sosial masyarakat (Eropa, Timur Asing dan Bumiputra).

Untuk kelompok bumiputra masih diwarnai oleh status keturunan yang terdiri dari kelompok bangsawan kaum priyayi dan rakyat jelata. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka struktur pendidikan terdiri dari pendidikan dasar yang di dalamnya ada ELS (Europese Legerschool) dan HIS (Holandsch Inlandschool) untuk keturunan Indonesia asli yang berada pada golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah disediakan Sekolah Kelas Dua.
Dalam pendidikan tingkat menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO (Meer Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbarea Aschool). Di samping itu juga ada beberapa sekolah kejuruan seperti Kweek School, Normaal School.
Untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Institut voor Hoger Technisch Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi Hukum (Rechschool), dan Sekolah Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari SekolahDokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS (Geneeskundige Hogeschool).
Pendidikan kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi dokter Bumiputra.
 
Sekolah ini di beri nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch Indische Artsenschool). Jika kita kaitkan dengan lahirnya pergerakan nasional, peranan para lulusan sekolah kedokteran ini memiliki posisi yang sangat signifikan.
Hal ini terbukti dari kehadiran mereka ternyata menjadi pelopor dalam pergerakan nasional dengan mendirikan organisasi seperti Studie Fond maupun Budi Utomo. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan lahirnya pergerakan nasional kita mengenal nama dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Sutomo yang notabene sebagai bapak pergerakan nasional.
c. Nasionalisme dan kesadaran nasional

Nasionalisme jika dilihat dari aspek bahasa, memiliki akar kata Natie (Belanda), atau nation (Inggris) yang berarti bangsa. Bagaimana bangsa itu terjadi banyak pendapat tentang hal ini dan semua itu sangat tergantung pada latar belakang sejarah masing-masing bangsa.
Dengan demikian bangsa itu terbentuk sangat beraneka ragam bisa terjadi karena faktor budaya (nilai-nilai yang ada pada sekelompok yang kemudian menyebut dirinya sebagai bangsa, atau tradisi yang menjadi pengikat diantara mereka), tetapi tidak menutup kemungkinan ada faktor lain seperti ekonomi, politik, teritorial yang semuanya itu bermuara pada adanya kesepakatan bersama diantara mereka dengan mencanangkan suatu tujuan tertentu.
Pertanyaan yang sering mengganggu kita dalam memahami sejarah nasional Indonesia, berkaitan dengan bagaimana nasionalisme Indonesia itu terjadi, bagaimana hubungan antara munculnya nasionalisme itu dengan kesadaran nasional dan kapan sebenarnya nasionalisme Indonesia itu muncul.
Sebelum lahirnya pergerakan nasional mestinya ada ''benih-benih'' terlebih dahulu yaitu kesadaran nasional. Kesadaran nasional sebenarnya suatu pandangan yang sangat terkait dengan soal perasaan, soal kehendak (tekad) semata-mata untuk hidup bersama (ledesir de vivre ensenble) yang timbul antara golongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa lampau terutama dalam penderitaan-penderitaan bersama.
Nasional memiliki fungsi sentral, adalah suatu kesadaran yang menetapkan pengalaman, perilaku serta tindakan individu dalam kerangka nasional, kesemuanya itu ditempatkan dalam konteks nasional baik secara sinkrinis maupun diakronis. Rasa kebangsaan menunjuk pada semangat kadar nasionalitas.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia merekam pemilikan rasa/kesadaran kebangsaan itu. Menentukan kapan sebenarnya munculnya kesadaran nasional itu bukanlah suatu yang mudah, mengingat hal tersebut merupakan gejala masyarakat dimana masyarakat selalu sarat dengan mobilitas serta pertumbuhan.
Memang dari sudut meterial kesadaran itu sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Bangsa Indonesia dalam gerak sejarahnya baik vertikal maupun horizontal membantu rasa kesadaran kebangsaan tersebut sejak kebangkitan nasional pada tahun 1908.
Perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia menghadapi penjajah kiranya bukan tanpa suatu rasa/kesadaran harga diri primordial yang antisipatif akan tetapi kesadaran itu muncul dari sifat primordialis dan tribalistis yang sehat.
Kesadaran nasional bertolak dari faktor kohesi sosial sebagai dasar integrasi dan solidaritas sosial yang terbentuk oleh suatu kekuatan sejarah. Pada gilirannya kekuatan sejarah akan membentuk kecenderungan sejarah yaitu suatu arus besar yang menandai perjalanan alur sejarah dari suatu periode tertentu.
Pada awal abad XX titik-titik terang penemuan kembali harga diri bangsa yang secara nyata telah muncul sebagai sebuah kesadaran nasional. Kebutuhan pendidikan telah disadari sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditunda dan diabaikan lagi, kesadaran ini semakin hari semakin meluas di Indonesia.
Keinginan mengejar dan mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran serta pendidikan dengan semakin banyaknya anak-anak sekolah untuk menuntut ilmu. Mereka sadar bahwa penguasaan ilmu pengetahuan (bebas dari kebodohan) merupakan bekal awal untuk mampu menghadapi bangsa Barat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar