Hakikat Pergerakan Nasional
a. Arti dan makna pergerakan nasional
Ciri khas yang ada pada Ilmu Sejarah adalah sifat subyektivitas yang
tercermin pada setiap penulisan sejarah. Tanpa mengurangi hakekat
kebenaran yang ingin dicapai dalam suatu penulisan sejarah, ternyata
unsur ini tetap melekat. Seperti halnya dalam istilah pergerakan
nasional yang selama ini kita temukan dalam tulisan sejarah sebenarnya
juga menunjukan adanya subyektivitas tersebut, karena setiap bangsa
dalam memandang suatu peristiwa sejarah tentunya memiliki kepentingan.
Subyektivitas ini termasuk di dalamnya terkait dengan kurun waktu dari
masa pergerakan nasional serta keterlibatan berbagai macam unsur dan
golongan. Berkaitan dengan istilah pergerakan nasional tidak banyak yang
mengemukakan terminologi ini.
Seperti yang dikatakan oleh Koch bahwa kecuali dari buku De Nationalistiche Beweging in Nederlans Indie yang
ditulis oleh Petrus Th. Blumberger, belumlah ada suatu penerbitan yang
dalam bahasa Belanda yang memuat pandangan yang cukup tajam (DMG. Koch,
1951 : 6).
Dilihat dari munculnya istilah sejarah pergerakan nasional itu
sebenarnya formulasi ini pada mulanya diintrodusir oleh P. Th.
Blumberger seperti yang dikutip di atas. Masalah pergerakan nasional itu
menjadi problem karena berkaitan dengan keterlibatan bangsa dalam arti
secara keseluruhan masih merupakan peristiwa langka saat itu.
Di pihak lain perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajah
Belanda sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum abad XX. Karena itu
masih perlu dijelaskan kriteria apa yang harus dipakai untuk melihat
suatu gerakan itu bersifat nasional. Haruskah gerakan itu dilaksanakan
secara serentak di seluruh wilayah Indonesia (Hindia Belanda) atau
kualitas gerakan yang bagaimana yang dapat disebut sebagai gerakan
nasional itu.
Jika dilihat dari kacamata sekarang tentu gerakan nasional itu adalah
gerakan yang kita lakukan sebagai bangsa Indonesia yang serentak,
terencana dan memiliki tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya sehingga
memiliki suatu arah dan kepastian dalam keinginan yang dituju.
Akan tetapi ukuran ini tentu tidak dapat diterapkan pada awal dekade
abad XX. Pergerakan nasional adalah pergerakan bangsa itu, walaupun yang
bergerak itu sebagian rakyat atau sebagian kecil sekalipun asalkan apa
yang menjadi tujuan itu dapat menentukan nasib bangsa itu secara
keseluruhan, menuju tujuan yang tertentu yaitu kemerdekaan.
Dalam gerakan ini kesetiaan diletakkan pada bangsa itu sendiri.
Pergerakan nasional pada umumnya merupakan pergerakan dari bangsa yang
terjajah melawan bangsa yang menjajah untuk mendirikan suatu negara yang
merdeka. Tujuan pergerakan nasional yang seutuhnya tidak mungkin akan
terwujud sejauh kemerdekaan dalam bidang politik belum dapat dicapai.
Pergerakan nasional dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu
momentum yang penting. Memang setiap momentum, dalam sejarah, memiliki
karakteristik tertentu yang membedakan dengan peristiwa sebelum dan
sesudahnya. Setiap momentum mengandung nilai-nilai tertentu, yang jika
kita hubungkan dengan sejarah sebagai alat pendidikan tentu mengandung
makna.
Periode pergerakan nasional perlu mendapatkan tempat yang penting dalam
kerangka periodisasi sejarah Indonesia karena ada suatu ciri yang sangat
berbeda pada momentum ini jika dibandingkan dengan babakan sejarah
sebelumnya. Ciri yang dimiliki inilah menjadikan pergerakan nasional
memiliki arti penting dalam sejarah Indonesia.
Pergerakan Indonesia meliputi berbagai gerakan atau aksi yang dilakukan
dalam bentuk organisasi secara modern menuju ke arah yang lebih baik
terutama dalam kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karena itu dalam
perkembangannya gerakan yang terjadi tidak hanya bersifat radikal akan
tetapi juga ada yang bersifat moderat.
Namun demikian bagi suatu organisasi taktik perjuangan dapat berbeda
asalkan memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu koperasi ataupun non
koperasi bukan suatu tujuan melainkan semata-mata sebuah taktik
perjuangan. Di samping istilah pergerakan nasional kita juga mengenal
istilah perjuangan nasional.
Akan tetapi kata perjuangan sebenarnya memiliki cakupan waktu yang lebih
luas (lama) karena perjuangan bangsa itu sebenarnya sejak bangsa itu
ada sampai mencapai tujuannya, sedang pergerakan nasional hanyalah
meliputi kurun waktu 1908-1945.
Seperti yang dikatakan oleh Susanto Tirtoprodjo, bahwa perjuangan
mempunyai arti yang luas, sehingga yang dilaksanakan oleh
pahlawan-pahlawan kita seperti Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol,
Hasanudin dan sebagainya merupakan peristiwa-peristiwa dalam perjuangan
nasional Indonesia.
Di atas telah disinggung bahwa pergerakan nasional itu adalah gerakan
yang memiliki tujuan yang pasti, dalam hal ini adalah gerakan tersebut
memiliki ciri-ciri tersendiri. Jika suatu gerakan memiliki tujuan yang
pasti, seharusnyalah gerakan itu teratur dalam arti memiliki suatu
perbedaan dengan gerakan yang pernah terjadi sebelumnya.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan memang dilakukan
dengan berbagai macam cara. Sejak kedatangan bangsa asing ke Indonesia,
bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan
bahu-membahu. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia seperti dalam perang-perang lokal antara lain serangan Sultan
Agung terhadap VOC, Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, Perang
Makasar dan lain sebagainya.
Hanya saja apa yang mereka lakukan belum memperoleh hasil yang optimal,
artinya belum mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Ketidakmampuan ini tidak harus ditafsirkan kalau para pejuang kita
kalah. Belum berhasilnya menembus benteng penjajahan itu banyak sekali
faktor yang mempengaruhi.
Dilihat dari strategi perjuangan, rupanya perang (perang fisik) banyak
berbicara. Oleh karena itu kita perlu mengenang keberanian para pejuang
Indonesia dalam menghadapi penjajahan itu. Mereka bersemboyan ''Merdeka
atau Mati''. Hanya saja suatu hal yang kurang mendapat perhatian adalah
koordinasi dalam perjuangan belum dilaksanakan, komunikasi belum
terkoordinir.
Hal itu dapat kita lihat dalam Perang Diponegoro yang waktunya hampir
bersamaan dengan Perang Paderi. Jika saja ada koordinasi antara kedua
peristiwa itu, tentulah jalannya sejarah akan menjadi lain. Tetapi
sayang komunikasi tidak ada/belum dapat terjalin sehingga penghentian
perang antara Belanda dengan kaum Paderi di Sumatera Barat justru
menguntungkan pihak Belanda sendiri karena kekuatannya dapat dipusatkan
untuk menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Setelah pasukan Diponegoro dapat dilokalisir maka kekuatan selanjutnya
dipergunakan untuk menghadapi pasukan Paderi di Sumatera Barat.
Kenyataan ini mengingatkan kita pada politik Belanda yang memecah belah
persatuan. Persatuan merupakan unsur vital dalam rangka menghadapi
penjajahan semacam Belanda.
Jika masalah ini ternyata sarana untuk mengkomunikasikan taktik dan
strategi dalam menghadapi Belanda belum terjadi pada periode sejarah
Indonesia sebelum abad XX. A.K. Pringgodigdo dalam bukunya ''Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia'', pada halaman 1 menyebut dengan istilah organisasi ''modern''.
Contoh organisasi yang pertama memiliki ciri-ciri modern ini adalah Budi
Utomo, yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada tahun 1908. Berdirinya
organisasi yang mempunyai ciri dan watak berbeda dengan apa yang ada
dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum abad XX oleh bangsa Indonesia
diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Peringatan lahirnya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional
didasarkan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316,
tertanggal 16 Desember 1959. Jadi peringatan Kebangkitan Nasional
bertepatan dengan peringatan lahirnya Budi Utomo 20 Mei 1908, tentu ada
hal yang spesifik.
Yang kita maksud spesifik menurut A.K. Pringgodigdo adalah sebagai berikut :
1. Memiliki pengurus yang pasti;
2. Memiliki anggota yang terdaftar;
3. Memiliki tujuan;
4. Memiliki rancangan pekerjaan yang dalam hal ini program kerja;
5. Lain-lain didasarkan atas peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa disamping syarat-syarat yang
dikemukakan oleh A.K. Pringgodigdo di atas, tentu tekanan kita adalah
bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah untuk kepentingan nasional
(kemerdekaan bangsa). Pembahasan tentang makna pergerakan nasional, kita
harus mengetahui terlebih dahulu bahwa makna itu apa.
Sidi Gazalba menyebutkan : Makna adalah Azas yang menentukan saling
berhubungan antara bagian-bagian dan antara bagian-bagian dengan
keseluruhan. Jika kita telah pembahasan ini ternyata makna itu dikaitkan
dengan suatu pendekatan sistem. Berbicara tentang makna pergerakan
nasional, tentu tidak terlepas dari makna sejarah pada umumnya.
Hal ini karena pergerakan nasional merupakan salah satu bagian dari
sejarah Indonesia. Pentingnya sejarah bagi suatu bangsa, mengingat
sejarah memiliki arti penting, karena ada sesuatu yang dapat diberikan
oleh sejarah pada kita. Orang sering mengatakan, kita hendaknya belajar
dari sejarah.
Sekarang, kalau kita berbicara tentang makna pergerakan nasional, tentu
tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan pergerakan nasional dalam
sejarah perjuangan nasional. Hal ini karena perjuangan nasional memiliki
makna yang luas. Sehubungan dengan hal itu, kita melihat sampai sejauh
mana pergerakan nasional itu menimbulkan dampak terhadap perjuangan
selanjutnya.
Jawaban akan masalah ini memberikan petunjuk pada kita bahwa gebrakan
Budi Utomo sebagai pemula pergerakan nasional menimbulkan suatu
kenyataan, dimana banyak partai politik berdiri mengikutinya, seperti
Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Partindo dan
sebagainya, baik yang bersifat politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan. Dari kenyataan tersebut di atas, jelaslah bahwa pergerakan
nasional yang muncul awal abad XX memberikan warna baru dalam
hubungannya dengan taktik dan strategi perjuangan bangsa Indonesia.
b. Perkembangan pendidikan di Indonesia
Perkembangan sistem pendidikan pada masa Hindia Belanda tidak dapat
dipisahkan dengan politik etis. Ini berarti bahwa terjadinya perubahan
pada negeri jajahannya (Indonesia) banyak dipengaruhi oleh keadaan yang
terjadi di negeri Belanda sendiri.Tekanan datang dari Partai Sosial
Demokrat yang di dalamnya ada Van Deventer yang juga seorang liberal
yang tangguh dengan mencetuskan hutang budi.
Apa yang diinginkan Van Deventer ternyata menjadi kenyataan ketika dalam
bulan September 1902 A.W.F. Indenburg mulai menduduki pos Menteri
Urusan Jajahan. Dalam salah satu pidatonya Indenburg mengatakan :
''Selama dua puluh lima tahun terakhir ini penduduk (pulau Jawa)
telah bertambah empat puluh lima persen, sedangkan tanah sawah hanya
bertambah dua puluh tiga persen (produktivitas dua puluh delapan
persen). Jadi penghasilan rata-rata perorangpun menurun. Jumlah petani
yang tidak memiliki tanah bertambah. Jumlah penduduk yang mencari
lapangan usaha lain bertambah, tetapi pendapatan rata-rata mereka
menurun. Semua kenyataan ini membenarkan kesimpulan bahwa Jawa berada
dalam keadaan transisi. Dari suatu masyarakat yang benar-benar agrasi ke
suatu masyarakat dimana industri maju ke depan berdampingan dengan
pertanian. Dan apabila seseorang memandang kenyataan-kenyataan ini
sebagai sebab umum, maka sudah jelas arah yang dituju adalah untuk suatu
perbaikan''.
Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda ternyata membawa kesegaran yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mengakibatkan rakyat Indonesia yang amat mendalam.
Ternyata politik yang diterapkan tersebut menghasilkan batig slot dan
politik drainage. Setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak, maka
Belanda mulai menghapus pelaksanaan tanam paksa secara berangsur-angsur.
Berkat dorongan kaum liberal, serta kaum humanis di Indonesia mulai
dilaksanakan sistem usaha swasta dan penanaman bebas.
Sistem ini kenyataannya tidak dapat mengentas rakyat dari kemiskinan.
Banyak kritikan dilakukan oleh tokoh di negeri Belanda seperti de Wall,
Fransen van den Pute dan juga oleh Brosstchooft (seorang jurnalis dan
redaktur majalah De Locomotif, sebuah harian yang ada di Semarang) yang
mengatakan bahwa selama satu abad lebih kekayaan dan keuntungan yang
mestinya menjadi milik rakyat Indonesia telah diambil alih oleh
pemerintah Belanda.
Pada tahun 1905 adalah saat di mana akan dilaksanakan pemilihan umum,
dan ternyata ven Deventer terpilih sebagai anggota Parlemen dari
kelompok Demokrat Radikal. Namun sebelum itu sebenarnya tokoh ini telah
banyak memberikan kritikan terhadap pemerintah penjajahan Belanda.
Hal ini tercermin dalam tulisan yang dimuat dalam majalah de Gids dengan
judul Een Ereschuld yang berarti hutang budi atau hutang kehormatan.
Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan bahwa kekosongan kas negeri
Belanda sebagai akibat perang Diponegoro dan perang kemerdekaan Belgia
telah dapat diisi kembali berkat pengorbanan orang-orang Indonesia.
Kemakmuran dan kemajuan negeri Belanda diperoleh dari kerja dan jasa
orang koloni Indonesia. Karena itu Belanda telah berhutang budi kepada
rakyat Indonesia. Untuk itu harus dibayar dengan peningkatan
kesejahteraan melalui gagasannya yang dikenal dengan ''Tri Logi van
Deventer'' yang di dalamnya terdiri dari emigrasi, irigasi, dan
edukasi.
Politik yang diperjuangkan dalam rangka mengadakan desentralisasi,
kesejahteraan rakyat serta efisiensi yang kemudian dikenal dengan
politik etis. Kritik dan saran yang disampaikan van Deventer mendapat
tanggapan positif dari pemerintah Belanda. Hal ini dapat dilihat dalam
pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901.
Dalam pidatonya, Ratu mengemukakan gagasan pembaharuan politik yang
diberi judul ''Etische Richting'' (Haluan Etika) yang lebih dikenal
dengan politik etis. Dalam pidato tersebut Ratu Wilhelmina antara lain
menyatakan adanya kewajiban bagi pemerintah Belanda untuk memperbaiki
kesejahteraan dan kedudukan orang pribumi.
Hal ini tercermin dari usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menindaklanjuti pidato Ratu Wilhelmina seperti :
1. Pembentukan panitia kemunduran kesejahteraan untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu;
2. Menghidupkan kembali perusahaan pribumi;
3. Diadakan pinjaman tak berbunga 30 juta gulden dan pemberian berbagai hadiah 40 juta gulden;
4. Penyelidikan mengenai keadaan ekonomis yang tercantum dalam laporan van Deventer.
Sebagai akibat dari semua itu ternyata terdapat kemajuan serta suatu
perubahan yang dapat dilihat dalam hal desentralisasi,
perubahan-perubahan pemerintahan, perbaikan kesehatan rakyat, emigrasi,
perbaikan pertanian dan peternakan, pembangunan irigasi dan lalu lintas.
Pertama-tama pemerintah Belanda mengusahakan desentralisasi, yang
mendasarkan pada tiga prinsip, yaitu pengalihan pemerintah dari Negeri
Belanda ke Hindia Belanda, Batavia ke daerah lain, Bangsa Eropa ke
penduduk pribumi. Pada kenyataan peralihan pemerintahan dari negeri
Belanda ke Indonesia sulit dilaksanakan, namun demikian usaha-usaha ke
arah desentralisasi tetap dilaksanakan.
Pada tahun 1903 Staten General (Badan Legislatif Federal) menyetujui
adanya Undang-Undang Desentralisasi. Mulai tahun 1905 dibentuk
dewan-dewan kota, yang tugasnya antara lain membuat peraturan tentang
pajak dan bangunan umum. Dari segi keanggotaan, dewan tersebut lebih
banyak didominasi oleh orang-orang Eropa.
Untuk mendukung pelaksanaan politik etis, pemerintah Belanda
mencanangkan Politik Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik
asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan hubungan harmonis
antara Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi).
Dengan politik asosiasi dan semboyan unifikasi, akan terjadsi suatu
proses pembelandaan terhadap rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata
cara yang dilakukan Belanda ini tidak memperoleh sambutan dari rakyat
Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa hasil.
Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan
unggul, sehingga politik asosiasi justru menimbulkan hubungan yang
paternalistik. Belanda berperan sebagai bapak dan Indonesia sebagai anak
yang masih harus dibina. Oleh karena itu politik etis juga sering
disebut sebagai Paternalistik Politik (pater/father = ayah).
Dalam bidang kesehatan, pemerintah telah melaksanakan program
pemberantasan penyakit menular, seperti pes, cacar, kolera dan malaria,
sehingga dapat menurunkan angka kematian (salah satu faktor yang paling
dirasakan sebagai penderitaan adalah tingkat kesehatan masyarakat sangat
rendah dan banyak terserang penyakit).
Hal ini tidak lepas dari peningkatan jumlah penduduk, kepadatan penduduk
dan sehingga kesempatan kerja di Jawa sangat terbatas mengakibatkan
terjadinya pengangguran. Dalam rangka mengatasi hal ini dilaksanakan
emigrasi. Perpindahan penduduk terutama dilakukan dari pulau Jawa ke
luar Jawa, terutama Sumatera.
Program ini tidak banyak menolong keadaan rakyat, karena lebih banyak
menjadi buruh yang hidupnya menderita. Ternyata apa yang dilakukan
Belanda bukan menyejahterakan rakyat akan tetapi justru memindahkan
kesengsaraan. Inilah secara kultural menjadi beban bagi rakyat Indonesia
ketika akan dilaksanakan transmigrasi ke luar Jawa.
Dalam bidang pendidikan (edukasi), tujuan semula Belanda adalah untuk
mendapat tenaga kerja atau pegawai murahan dan mandor-mandor atau
pelayan-pelayan yang dapat membaca dengan gaji yang murah. Untuk
kepentingan tersebut, Belanda mendirikan sekolah-sekolahan untuk rakyat
pribumi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan politik etis tidak terlepas
dari kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Karena itu politik etis
sering disebut sebagai politik sarung tangan sutra sebagai pengganti
politik sarung tangan besi. Di atas dikatakan bahwa munculnya sistem
pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik etis.
Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan pendidikan
mengingat salah satu dari Trilogi van Deventer secara eksplisit
menyebutkan mengenai edukasi. Jika dilihat dari aspek sejarahnya,
sebenarnya sistem pendidikan sudah ada sejak zaman VOC.
Pada tahun 1617 di Jakarta telah didirikan sekolah Betawi (Batavische
School). Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Jakarta
juga didirikan Seminarium Theologicum. Pada tahun 1743 juga berdiri
Akademi Pelayaran (Academie der Marine).
Dengan adanya perbedaan perlakuan sebagai akibat dari sistem sosial yang
berlaku dalam masyarakat kolonial khususnya terhadap golongan Timur
Asing, maka pada tahun 1737 didirikan sekolah khusus untuk orang
Tionghoa.
Munculnya sistem pendidikan kolonial ketika itu, tidaklah berbanding
lurus dengan kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Hal
ini karena secara idiil sistem pendidikan lebih banyak pada upaya untuk
seberapa jauh pendidikan yang dirancang itu telah memenuhi kebutuhan
akan tenaga bagi Hindia Belanda.
Setelah dilaksanakannya Politik Etis sebagai salah satu kebijakan
pemerintah Hindia Belanda, banyak lembaga pendidikan mulai berdiri.
Namun demikian ternyata perbedaan warna kulit (color line division),
ternyata menjadi salah satu hambatan masuk sekolah. Sistem pendidikan
ternyata juga dikembangkan disesuaikan dengan status sosial masyarakat
(Eropa, Timur Asing dan Bumiputra).
Untuk kelompok bumiputra masih diwarnai oleh status keturunan yang terdiri dari kelompok bangsawan kaum priyayi dan rakyat jelata. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka struktur pendidikan terdiri dari pendidikan dasar yang di dalamnya ada ELS (Europese Legerschool) dan HIS (Holandsch Inlandschool) untuk keturunan Indonesia asli yang berada pada golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah disediakan Sekolah Kelas Dua.
Dalam pendidikan tingkat menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO
(Meer Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbarea Aschool). Di
samping itu juga ada beberapa sekolah kejuruan seperti Kweek School,
Normaal School.
Untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk
Institut voor Hoger Technisch Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah
Tinggi Hukum (Rechschool), dan Sekolah Tinggi Kedokteran yang berkembang
sejak dari SekolahDokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS (Geneeskundige
Hogeschool).
Pendidikan kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari
1849 semula lahir sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875
diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam
perkembangannya pada tahun 1902 menjadi dokter Bumiputra.
Sekolah ini di beri nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische
Artsen) yang kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch
Indische Artsenschool). Jika kita kaitkan dengan lahirnya pergerakan
nasional, peranan para lulusan sekolah kedokteran ini memiliki posisi
yang sangat signifikan.
Hal ini terbukti dari kehadiran mereka ternyata menjadi pelopor dalam
pergerakan nasional dengan mendirikan organisasi seperti Studie Fond
maupun Budi Utomo. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan lahirnya
pergerakan nasional kita mengenal nama dr. Wahidin Sudirohusodo, dr.
Sutomo yang notabene sebagai bapak pergerakan nasional.
c. Nasionalisme dan kesadaran nasional
Nasionalisme jika dilihat dari aspek bahasa, memiliki akar kata Natie
(Belanda), atau nation (Inggris) yang berarti bangsa. Bagaimana bangsa
itu terjadi banyak pendapat tentang hal ini dan semua itu sangat
tergantung pada latar belakang sejarah masing-masing bangsa.
Dengan demikian bangsa itu terbentuk sangat beraneka ragam bisa terjadi
karena faktor budaya (nilai-nilai yang ada pada sekelompok yang kemudian
menyebut dirinya sebagai bangsa, atau tradisi yang menjadi pengikat
diantara mereka), tetapi tidak menutup kemungkinan ada faktor lain
seperti ekonomi, politik, teritorial yang semuanya itu bermuara pada
adanya kesepakatan bersama diantara mereka dengan mencanangkan suatu
tujuan tertentu.
Pertanyaan yang sering mengganggu kita dalam memahami sejarah nasional
Indonesia, berkaitan dengan bagaimana nasionalisme Indonesia itu
terjadi, bagaimana hubungan antara munculnya nasionalisme itu dengan
kesadaran nasional dan kapan sebenarnya nasionalisme Indonesia itu
muncul.
Sebelum lahirnya pergerakan nasional mestinya ada ''benih-benih''
terlebih dahulu yaitu kesadaran nasional. Kesadaran nasional sebenarnya
suatu pandangan yang sangat terkait dengan soal perasaan, soal kehendak
(tekad) semata-mata untuk hidup bersama (ledesir de vivre ensenble) yang
timbul antara golongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa
lampau terutama dalam penderitaan-penderitaan bersama.
Nasional memiliki fungsi sentral, adalah suatu kesadaran yang menetapkan
pengalaman, perilaku serta tindakan individu dalam kerangka nasional,
kesemuanya itu ditempatkan dalam konteks nasional baik secara sinkrinis
maupun diakronis. Rasa kebangsaan menunjuk pada semangat kadar
nasionalitas.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia merekam pemilikan rasa/kesadaran
kebangsaan itu. Menentukan kapan sebenarnya munculnya kesadaran nasional
itu bukanlah suatu yang mudah, mengingat hal tersebut merupakan gejala
masyarakat dimana masyarakat selalu sarat dengan mobilitas serta
pertumbuhan.
Memang dari sudut meterial kesadaran itu sudah ada jauh sebelum
kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Bangsa Indonesia dalam gerak
sejarahnya baik vertikal maupun horizontal membantu rasa kesadaran
kebangsaan tersebut sejak kebangkitan nasional pada tahun 1908.
Perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia menghadapi penjajah kiranya
bukan tanpa suatu rasa/kesadaran harga diri primordial yang antisipatif
akan tetapi kesadaran itu muncul dari sifat primordialis dan tribalistis
yang sehat.
Kesadaran nasional bertolak dari faktor kohesi sosial sebagai dasar
integrasi dan solidaritas sosial yang terbentuk oleh suatu kekuatan
sejarah. Pada gilirannya kekuatan sejarah akan membentuk kecenderungan
sejarah yaitu suatu arus besar yang menandai perjalanan alur sejarah
dari suatu periode tertentu.
Pada awal abad XX titik-titik terang penemuan kembali harga diri bangsa
yang secara nyata telah muncul sebagai sebuah kesadaran nasional.
Kebutuhan pendidikan telah disadari sebagai kebutuhan yang tidak bisa
ditunda dan diabaikan lagi, kesadaran ini semakin hari semakin meluas di
Indonesia.
Keinginan mengejar dan mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran serta
pendidikan dengan semakin banyaknya anak-anak sekolah untuk menuntut
ilmu. Mereka sadar bahwa penguasaan ilmu pengetahuan (bebas dari
kebodohan) merupakan bekal awal untuk mampu menghadapi bangsa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar